Kamis, 20 Oktober 2011

Kejujuran

Arti jujur

Jujur jika diartikan secara baku adalah “mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran”. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.




Keadilan


Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya

Pandangan Hidup


Segala sesuatunya berhulu pada pandangan-hidup. Kita akan menganut prinsip-hidup yang bersesuaian dengannya, dan Kitapun akan menganut pola-pikir yang bersesuaian dengan prinsip-hidup Kita itu. Oleh karenanya berhati-hatilah di dalam mengadopsi sebentuk pandangan-hidup tertetu. Ia akan secara signifikan sangat menentukan jalan-hidup Anda secara keseluruhan. Apapun agama yang kita anut lantaran kelahiran, awalnya, kita mungkin belum punya sebentuk pandangan-hidup tertentu yang pasti. Kita masih menjalani hidup secara coba-coba, dengan meraba-raba. Di dalam menjalaninya selama ini, mungkin kita telah tabrak-sana-tabrak-sini, sampai dengan menemukan sebentuk pandangan-hidup yang rasanya cocok, sesuai dengan kondisi fisiko-mental kita. Namun, kita mesti selalu ingat kalau kendati sesuatu rasanya cocok, ia belum tentu juga baik buat kita. Apa yang kita perlukan untuk menjalani hidup ini bukanlah yang rasanya cocok atau yang kita senangi, melainkan yang baik dan mendatangkan kebaikan buat kita dan orang lain; bahkan bila mungkin, ia juga bisa mendatangkan kebaikan buat sebanyak-banyaknya orang. Disinilah kita perlu amat berhati-hati.

Kondisi fisiko-mental kita selalu berubah-ubah. Sesuatu yang tadinya terasa amat cocok, bisa berubah drastis kini; sesuatu yang kini terasa amat cocok, bisa samasekali tidak cocok besok. Sementara itu pandangan-hidup tidaklah bisa serta-merta dirubah-rubah untuk selalu disesuaikan dengannya. Sekedar untuk bisa menerima dan meresapi suatu pandangan-hidup tertentu saja, tidaklah mudah dan butuh tak sedikit waktu. Singkatnya, kita hendak mengadopsi sesuatu yang tidak sekedar rasanya cocok, namun yang jelas-jelas baik buat kita dan sebanyak-banyaknya orang. Tapi jangan salah lagi disini sesuatu yang baik buat sebanyak-banyaknya orang, bukan saja belum tentu baik juga buat kita, namun ia tidak berarti bahwa kita harus ikut-ikutan menganut pandangan-hidup yang dianut oleh banyak orang. Sebab, sangat boleh jadi mereka menganutnya hanya lantaran terlahir dan terjebak di lingkungan penganut pandangan-hidup itu, atau sekedar ikut-ikutan saja.

Yang menganut pandangan-hidup tertentu, akan menganut prinsip-hidup tertentu. Prinsip-hidup inilah yang selalu akan menjadi orientasi-utama seseorang di dalam menjalani hidupnya. Misalnya, seseorang yang menganut pandangan bahwasanya hidup ini sebagai kesempatan-emas untuk meningkatkan martabat-kelahirannya, maka ia akan berprinsip memanfaatkan sebaik-baiknya setiap peluang dan kesempatan guna mengisi kesempatan-emas ini, dimana setiap pemikiran, ucapan dan tindakannya akan selalu ia orientasikan pada yang baik dan bermanfaat untukmeningkatkan martabat-kelahirannya. Lain lagi halnya dengan mereka yang menganut pandangan bahwasanya hidup ini hanya sekali saja, misalnya. Mereka ini bisa saja juga berprinsip memanfaatkan sebaik-baiknya setiap peluang dan kesempatan yang ada, namun guna memperkaya diri sehingga bisa bersenang-senang, bisa memenuhi setiap keinginannya, bisa memuaskan setiap dorongan nafsu-idriawinya. Semua ini mereka lakukan atas-nama “menikmati hidup” yang hanya sekali ini saja. Itulah yang menjadi orientasi-utama dari setiap pemikiran, ucapan dan tindakan mereka; itulah yang menjadi orientasi-utamanya di dalam menjalani kehidupannya ini.

Orientasi-utama seseorang di dalam menjalani kehidupannya dengan jelas mengekspresikan tujuan-hidup-nya, tujuan yang ia tetapkan berdasarkan pandangan-hidup-nya. Jadi semakin jelas bagi kita kini keterkaitan-erat antara pandangan-hidup, prinsip-hidup, jalan-hidup dan tujuan-hidup. Disadari atau tidak, setiap orang akan selalu berjalan mengarah kepada tujuannya masing-masing. Terlepas dari ras, kebangsaan, etnis, agama, jender, usia, tingkat pendidikan, bidang profesi pun kepribadian masing-masing orang yang menentukan bagaimana caranya meraih tujuan-hidup-nya itu rumusan ini tetap berlaku. Ia bersifat universal. Makanya, di dalam memilih, terlebih lagi memilih sebentuk pandangan-hidup yang nantinya akan sangat menentukan jalan-hidup kita, kita perlu melengkapi diri dengan kemampuan memilah-milah antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dengan yang salah, antara yang asli dan yang palsu, antara yang sejati dan yang semu. Umumnya, kemampuan ini kita peroleh dari pengalaman dan pengetahuan kita. Namun, hanya mengandalkan pengalaman dan pengetahuan kita yang sangat terbatas saja, hanya untuk memperoleh kemampuan memilah-milah ini saja, bisa menghabiskan seluruh usia kita.